“Di
malam terakhir Ramadhan, menangislah tujuh petala langit dan tujuh petala bumi
dan para malaikat, karena akan berlalunya Ramadhan, dan juga keistimewaannya.”
Waktu terus bergulir dari detik ke detik, dari menit ke
menit, dari jam ke jam, dari hari ke hari, dari minggu ke minggu.... Rasanya
baru kemarin kita begitu bersemangat mempersiapkan diri untuk memasuki bulan
Ramadhan, bulan tarbiyah, bulan latihan, bulan Quran, bulan maghfirah, bulan
yang penuh berkah. Namun beberapa saat lagi, Ramadhan akan meninggalkan kita,
padahal kita belum optimal melaksanakan qiyamul lail kita, belum optimal
membaca Al-Quran serta belum optimal melaksanakan ibadah-ibadah lain,
target-target yang kita pasang belum semuanya terlaksana. Dan kita tidak akan
pernah tahu apakah kita masih dapat berjumpa dengan Ramadhan berikutnya.
Bagi para salafush shalih, setiap bulan Ramadhan pergi
meninggalkan mereka, mereka selalu meneteskan air mata. Di lisan mereka terucap
sebuah doa yang merupakan ungkapan kerinduan akan datangnya kembali bulan
Ramadhan menghampiri diri mereka.
Orang-orang
zaman dahulu, dengan berlalunya bulan Ramadhan, hati mereka mejadi sedih. Maka,
tidak mengherankan bila pada malam-malam terakhir Ramadhan, pada masa
Rasulullah SAW, Masjid Nabawi penuh sesak dengan orang-orang yang beri’tikaf.
Dan di sela-sela i’tikafnya, mereka terkadang menangis terisak-isak, karena
Ramadhan akan segera berlalu meninggalkan mereka.
Ada satu riwayat yang mengisahkan bahwa kesedihan ini
tidak saja dialami manusia, tapi juga para malaikat dan makhluk-makhluk Allah
lainnya.
Dari Jabir RA, Rasulullah SAW bersabda, “Di malam
terakhir Ramadhan, menangislah tujuh petala langit dan tujuh petala bumi dan
para malaikat, karena akan berlalunya Ramadhan, dan juga keistimewaannya. Ini
merupakan musibah bagi umatku.”
Kemudian ada seorang sahabat bertanya, “Apakah musibah
itu, ya Rasulullah?”
“Dalam bulan itu segala doa mustajab, sedekah makbul,
segala kebajikan digandakan pahalanya, dan siksaan kubur terkecuali, maka
apakah musibah yang terlebih besar apabila semuanya itu sudah berlalu?”
Ketika mereka memasuki detik-detik akhir penghujung
Ramadhan, air mata mereka menetes. Hati mereka sedih.
Betapa tidak. Bulan yang penuh keberkahan dan keridhaan
Allah itu akan segera pergi meninggalkan mereka. Bulan ketika orang-orang
berpuasa dan menghidupkan malam-malamnya dengan ibadah. Bulan yang Allah
bukakan pintu-pintu surga, Dia tutup pintu-pintu neraka, dan Dia belenggu
setan.
Bulan
yang awalnya adalah rahmat, pertengahannya ampunan, dan akhirnya pembebasan
dari api neraka. Bulan ketika napas-napas orang yang berpuasa lebih harum di
sisi Allah daripada minyak kesturi. Bulan ketika Allah setiap malamnya
membebaskan ratusan ribu orang yang harus masuk neraka. Bulan ketika Allah
menjadikannya sebagai penghubung antara orang-orang berdosa yang bertaubat dan
Allah Ta’ala.
Mereka menangis karena merasa belum banyak mengambil
manfaat dari Ramadhan. Mereka sedih karena khawatir amalan-amalan mereka tidak
diterima dan dosa-dosa mereka belum dihapuskan. Mereka berduka karena boleh
jadi mereka tidak akan bertemu lagi bulan Ramadhan yang akan datang.
Suatu hari, pada sebuah shalat ‘Idul Fithri, Umar bin
Abdul Aziz berkata dalam khutbahnya, “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya
kalian telah berpuasa karena Allah selama tiga puluh hari, berdiri melakukan
shalat selama tiga puluh hari pula, dan pada hari ini kalian keluar seraya
memohon kepada Allah agar menerima amalan tersebut.”
Salah seorang di antara jama’ah terlihat sedih.
Seseorang kemudian bertanya kepadanya, “Sesungguhnya
hari ini adalah hari bersuka ria dan bersenang-senang. Kenapa engkau malah
bermuram durja? Ada apa gerangan?”
“Ucapanmu benar, wahai sahabatku,” kata orang tesrebut.
“Akan tetapi, aku hanyalah hamba yang diperintahkan oleh Rabb-ku untuk
mempersembahkan suatu amalan kepada-Nya. Sungguh aku tidak tahu apakah amalanku
diterima atau tidak.”
Kekhawatiran
serupa juga pernah menimpa para sahabat Rasulullah SAW. Di antaranya Sayyidina
Ali bin Abi Thalib. Diriwayatkan, di penghujung Ramadhan, Sayyidina Ali
bergumam, “Aduhai, andai aku tahu siapakah gerangan yang diterima amalannya
agar aku dapat memberi ucapan selamat kepadanya, dan siapakah gerangan yang
ditolak amalannya agar aku dapat ‘melayatnya’.”
Ucapan Sayyidina Ali RA ini mirip dengan ucapan
Abdullah bin Mas’ud RA, “Siapakah gerangan di antara kita yang diterima
amalannya untuk kita beri ucapan selamat, dan siapakah gerangan di antara kita
yang ditolak amalannya untuk kita ‘layati’. Wahai orang yang diterima
amalannya, berbahagialah engkau. Dan wahai orang yang ditolak amalannya, keperkasaan
Allah adalah musibah bagimu.”
Imam Mu'alla bin Al-Fadhl RA berkata, "Dahulu para
ulama senantiasa berdoa kepada Allah selama enam bulan agar dipertemukan dengan
Ramadhan. Kemudian mereka juga berdoa selama enam bulan agar diterima amal
ibadah mereka (selama Ramadhan)."
Wajar saja, sebab, tidak ada yang bisa menjamin bahwa
tahun depan kita akan kembali berjumpa dengan bulan yang penuh berkah, rahmat,
dan maghfirah ini. Karenanya, beruntung dan berbahagialah kita saat berpisah
dengan Ramadhan membawa segudang pahala untuk bekal di akhirat.
Jika kita merenungi kondisi salafush shalih dan
meneliti bagaimana mereka menghabiskan waktu-waktu mereka di bulan Ramadhan,
bagaimana mereka memakmurkannya dengan amal shalih, niscaya kita mengetahui
jauhnya jarak di antara kita dan mereka.
Bagaimana dengan kita? Adakah kesedihan itu hadir di hati kita di kala
Ramadhan meninggalkan kita? Atau malah sebaliknya, karena begitu bergembiranya
menyambut kedatangan Hari Raya ‘Idul Fithri, sampai-sampai di sepuluh hari terakhir,
yang seharunya kita semakin giat melaksanakan amalan-amalan ibadah, kita malah
disibukkan dengan belanja, membeli baju Lebaran, disibukkan memasak, membuat
kue, dan lain-lain.
Padahal di sisi lain, masih banyak orang di sekitar
kita yang berjuang untuk mendapatkan sesuap nasi untuk berbuka hari ini, bukan
untuk besok, apalagi untuk pesta pora di hari Lebaran.
Tapi apakah salah bila kita menyongsong Hari Raya ‘Idul
Fithri dengan kegembiraan? Tentu saja tidak. Bukankah Rasulullah SAW telah
mengatakan, “Wahai Abu Bakar, sesungguhnya setiap kaum mempunyai hari raya, dan
sesungguhnya hari ini adalah hari raya kita.” (HR Nasa’i).