Rabu, 07 Agustus 2013

ALLAHU AKBAR... ALLAHU AKBAR... ALLAHU AKBAR WALILLAHILHAM

Posted by Unknown at 22.45 0 comments

Taqaballalahu minna waminkum syiamana wa syiamakum.
Minnal aidzin walfa'idzin mohon maaf lahir dan batin..
Pesta Yang Tak Pernah Ada
ALLAHU AKBAR … ALLAHU AKBAR … ALLAHU AKBAR…

Nada dzikir yang sangat indah, menggetarkan langit, memecah bumi, memporak porandakan hati yang hening, dan membuat setiap sungai diujung mata jebol tak mampu lagi menampung setiap rentak rabana yang mengalir bersama darah disetiap napas yang ALLAH titipkan

Begitupun saya, yang tak kuasa membendung sungai kecil diujung mata saya, entah ini untuk merayakan kemenangan, entah saya menangisi bahwa idul fitri kali ini tak ada pesta dijiwa saya, selain menyusun langkah yang lebih pasti, mencapai ridho ILLAHI, mengisi setiap napas yang ALLAH titipkan untuk saya isi dengan kebaikan bukan dengan kesombongan, lumuran dosa yang sempat saya jadikan syurga yang saya cari [seperti zaman jahiliyah saya], kini di detik-detik menjelang perayaan Id yang fitri saya mulai mengerti dimana syurga itu berada, tak lupa saya ucapkan beribu-ribu terimakasih untuk seseorang yang telah membantu saya menemukan jatidiri saya, dan semoga amal ibadahnya di terima Allah Subhanahu Wa Ta'alla.. Aamiin ya Rabbal'alamiin.

Terbayang oleh saya mereka yang merayakan lebaran, di ICU Rumah sakit, di dalam rumah kardus yang dingin, di panti jompo tanpa anak dan suami…

Terbayang oleh saya saudara saya yang terusir dari keluarga karena kesalahan besarnya dan kini harus berada di keheningan untuk merayakan pesta yang takpernah ada...

Terbayang oleh saya airmata airmata penampung segala sabar dan ikhlas sebagai muara dari setiap cobaan…

Iya, saya disini yang akan merayakan kemenangan dengan jiwa yang melayang layang ditempat para sahabat, saudara saya yang kini harus berjuang sekedar untuk menyambung napas, disana ada takbir tapi tak ada pesta

Bismillaah... Ya ALLAH ya nurul Qolbu… Wahai yang maha melihat dan maha menerangi setiap jiwa, beri kami kekuatan, kami tetap bertakbir dengan tidak mengeluh sedikitpun karena kami percaya bahwa takdirmu meliputi takdir baik dan buruk, kami yang tiada, menjadi ada, dan akan tiada, Bukankah setiap nafas akan terhenti, nafas yang ENGKAU titipkan bertakbir, ada atau tanpa pesta kami tetap bertakbir,

ALLAHU AKBAR... ALLAHU AKBAR... ALLAHU AKBAR WALILLAHILHAM

Taqaballalahu minna waminkum syiamana wa syiamakum.
Minnal aidzin walfa'idzin mohon maaf lahir dan batin..

__Tangis Perpisahan para Pecinta Ramadhan__

Posted by Unknown at 16.17 0 comments



“Di malam terakhir Ramadhan, menangislah tujuh petala langit dan tujuh petala bumi dan para malaikat, karena akan berlalunya Ramadhan, dan juga keistimewaannya.”

Waktu terus bergulir dari detik ke detik, dari menit ke menit, dari jam ke jam, dari hari ke hari, dari minggu ke minggu.... Rasanya baru kemarin kita begitu bersemangat mempersiapkan diri untuk memasuki bulan Ramadhan, bulan tarbiyah, bulan latihan, bulan Quran, bulan maghfirah, bulan yang penuh berkah. Namun beberapa saat lagi, Ramadhan akan meninggalkan kita, padahal kita belum optimal melaksanakan qiyamul lail kita, belum optimal membaca Al-Quran serta belum optimal melaksanakan ibadah-ibadah lain, target-target yang kita pasang belum semuanya terlaksana. Dan kita tidak akan pernah tahu apakah kita masih dapat berjumpa dengan Ramadhan berikutnya.

Bagi para salafush shalih, setiap bulan Ramadhan pergi meninggalkan mereka, mereka selalu meneteskan air mata. Di lisan mereka terucap sebuah doa yang merupakan ungkapan kerinduan akan datangnya kembali bulan Ramadhan menghampiri diri mereka.

Orang-orang zaman dahulu, dengan berlalunya bulan Ramadhan, hati mereka mejadi sedih. Maka, tidak mengherankan bila pada malam-malam terakhir Ramadhan, pada masa Rasulullah SAW, Masjid Nabawi penuh sesak dengan orang-orang yang beri’tikaf. Dan di sela-sela i’tikafnya, mereka terkadang menangis terisak-isak, karena Ramadhan akan segera berlalu meninggalkan mereka.

Ada satu riwayat yang mengisahkan bahwa kesedihan ini tidak saja dialami manusia, tapi juga para malaikat dan makhluk-makhluk Allah lainnya.

Dari Jabir RA, Rasulullah SAW bersabda, “Di malam terakhir Ramadhan, menangislah tujuh petala langit dan tujuh petala bumi dan para malaikat, karena akan berlalunya Ramadhan, dan juga keistimewaannya. Ini merupakan musibah bagi umatku.”

Kemudian ada seorang sahabat bertanya, “Apakah musibah itu, ya Rasulullah?”

“Dalam bulan itu segala doa mustajab, sedekah makbul, segala kebajikan digandakan pahalanya, dan siksaan kubur terkecuali, maka apakah musibah yang terlebih besar apabila semuanya itu sudah berlalu?”
Ketika mereka memasuki detik-detik akhir penghujung Ramadhan, air mata mereka menetes. Hati mereka sedih.

Betapa tidak. Bulan yang penuh keberkahan dan keridhaan Allah itu akan segera pergi meninggalkan mereka. Bulan ketika orang-orang berpuasa dan menghidupkan malam-malamnya dengan ibadah. Bulan yang Allah bukakan pintu-pintu surga, Dia tutup pintu-pintu neraka, dan Dia belenggu setan.

Bulan yang awalnya adalah rahmat, pertengahannya ampunan, dan akhirnya pembebasan dari api neraka. Bulan ketika napas-napas orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada minyak kesturi. Bulan ketika Allah setiap malamnya membebaskan ratusan ribu orang yang harus masuk neraka. Bulan ketika Allah menjadikannya sebagai penghubung antara orang-orang berdosa yang bertaubat dan Allah Ta’ala.

Mereka menangis karena merasa belum banyak mengambil manfaat dari Ramadhan. Mereka sedih karena khawatir amalan-amalan mereka tidak diterima dan dosa-dosa mereka belum dihapuskan. Mereka berduka karena boleh jadi mereka tidak akan bertemu lagi bulan Ramadhan yang akan datang.

Suatu hari, pada sebuah shalat ‘Idul Fithri, Umar bin Abdul Aziz berkata dalam khutbahnya, “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya kalian telah berpuasa karena Allah selama tiga puluh hari, berdiri melakukan shalat selama tiga puluh hari pula, dan pada hari ini kalian keluar seraya memohon kepada Allah agar menerima amalan tersebut.”

Salah seorang di antara jama’ah terlihat sedih.

Seseorang kemudian bertanya kepadanya, “Sesungguhnya hari ini adalah hari bersuka ria dan bersenang-senang. Kenapa engkau malah bermuram durja? Ada apa gerangan?”

“Ucapanmu benar, wahai sahabatku,” kata orang tesrebut. “Akan tetapi, aku hanyalah hamba yang diperintahkan oleh Rabb-ku untuk mempersembahkan suatu amalan kepada-Nya. Sungguh aku tidak tahu apakah amalanku diterima atau tidak.”

Kekhawatiran serupa juga pernah menimpa para sahabat Rasulullah SAW. Di antaranya Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Diriwayatkan, di penghujung Ramadhan, Sayyidina Ali bergumam, “Aduhai, andai aku tahu siapakah gerangan yang diterima amalannya agar aku dapat memberi ucapan selamat kepadanya, dan siapakah gerangan yang ditolak amalannya agar aku dapat ‘melayatnya’.”

Ucapan Sayyidina Ali RA ini mirip dengan ucapan Abdullah bin Mas’ud RA, “Siapakah gerangan di antara kita yang diterima amalannya untuk kita beri ucapan selamat, dan siapakah gerangan di antara kita yang ditolak amalannya untuk kita ‘layati’. Wahai orang yang diterima amalannya, berbahagialah engkau. Dan wahai orang yang ditolak amalannya, keperkasaan Allah adalah musibah bagimu.”

Imam Mu'alla bin Al-Fadhl RA berkata, "Dahulu para ulama senantiasa berdoa kepada Allah selama enam bulan agar dipertemukan dengan Ramadhan. Kemudian mereka juga berdoa selama enam bulan agar diterima amal ibadah mereka (selama Ramadhan)."

Wajar saja, sebab, tidak ada yang bisa menjamin bahwa tahun depan kita akan kembali berjumpa dengan bulan yang penuh berkah, rahmat, dan maghfirah ini. Karenanya, beruntung dan berbahagialah kita saat berpisah dengan Ramadhan membawa segudang pahala untuk bekal di akhirat.

Jika kita merenungi kondisi salafush shalih dan meneliti bagaimana mereka menghabiskan waktu-waktu mereka di bulan Ramadhan, bagaimana mereka memakmurkannya dengan amal shalih, niscaya kita mengetahui jauhnya jarak di antara kita dan mereka.
Bagaimana dengan kita? Adakah kesedihan itu hadir di hati kita di kala Ramadhan meninggalkan kita? Atau malah sebaliknya, karena begitu bergembiranya menyambut kedatangan Hari Raya ‘Idul Fithri, sampai-sampai di sepuluh hari terakhir, yang seharunya kita semakin giat melaksanakan amalan-amalan ibadah, kita malah disibukkan dengan belanja, membeli baju Lebaran, disibukkan memasak, membuat kue, dan lain-lain.
Padahal di sisi lain, masih banyak orang di sekitar kita yang berjuang untuk mendapatkan sesuap nasi untuk berbuka hari ini, bukan untuk besok, apalagi untuk pesta pora di hari Lebaran.
Tapi apakah salah bila kita menyongsong Hari Raya ‘Idul Fithri dengan kegembiraan? Tentu saja tidak. Bukankah Rasulullah SAW telah mengatakan, “Wahai Abu Bakar, sesungguhnya setiap kaum mempunyai hari raya, dan sesungguhnya hari ini adalah hari raya kita.” (HR Nasa’i).


Post Icon

ALLAHU AKBAR... ALLAHU AKBAR... ALLAHU AKBAR WALILLAHILHAM


Taqaballalahu minna waminkum syiamana wa syiamakum.
Minnal aidzin walfa'idzin mohon maaf lahir dan batin..
Pesta Yang Tak Pernah Ada
ALLAHU AKBAR … ALLAHU AKBAR … ALLAHU AKBAR…

Nada dzikir yang sangat indah, menggetarkan langit, memecah bumi, memporak porandakan hati yang hening, dan membuat setiap sungai diujung mata jebol tak mampu lagi menampung setiap rentak rabana yang mengalir bersama darah disetiap napas yang ALLAH titipkan

Begitupun saya, yang tak kuasa membendung sungai kecil diujung mata saya, entah ini untuk merayakan kemenangan, entah saya menangisi bahwa idul fitri kali ini tak ada pesta dijiwa saya, selain menyusun langkah yang lebih pasti, mencapai ridho ILLAHI, mengisi setiap napas yang ALLAH titipkan untuk saya isi dengan kebaikan bukan dengan kesombongan, lumuran dosa yang sempat saya jadikan syurga yang saya cari [seperti zaman jahiliyah saya], kini di detik-detik menjelang perayaan Id yang fitri saya mulai mengerti dimana syurga itu berada, tak lupa saya ucapkan beribu-ribu terimakasih untuk seseorang yang telah membantu saya menemukan jatidiri saya, dan semoga amal ibadahnya di terima Allah Subhanahu Wa Ta'alla.. Aamiin ya Rabbal'alamiin.

Terbayang oleh saya mereka yang merayakan lebaran, di ICU Rumah sakit, di dalam rumah kardus yang dingin, di panti jompo tanpa anak dan suami…

Terbayang oleh saya saudara saya yang terusir dari keluarga karena kesalahan besarnya dan kini harus berada di keheningan untuk merayakan pesta yang takpernah ada...

Terbayang oleh saya airmata airmata penampung segala sabar dan ikhlas sebagai muara dari setiap cobaan…

Iya, saya disini yang akan merayakan kemenangan dengan jiwa yang melayang layang ditempat para sahabat, saudara saya yang kini harus berjuang sekedar untuk menyambung napas, disana ada takbir tapi tak ada pesta

Bismillaah... Ya ALLAH ya nurul Qolbu… Wahai yang maha melihat dan maha menerangi setiap jiwa, beri kami kekuatan, kami tetap bertakbir dengan tidak mengeluh sedikitpun karena kami percaya bahwa takdirmu meliputi takdir baik dan buruk, kami yang tiada, menjadi ada, dan akan tiada, Bukankah setiap nafas akan terhenti, nafas yang ENGKAU titipkan bertakbir, ada atau tanpa pesta kami tetap bertakbir,

ALLAHU AKBAR... ALLAHU AKBAR... ALLAHU AKBAR WALILLAHILHAM

Taqaballalahu minna waminkum syiamana wa syiamakum.
Minnal aidzin walfa'idzin mohon maaf lahir dan batin..

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Post Icon

__Tangis Perpisahan para Pecinta Ramadhan__




“Di malam terakhir Ramadhan, menangislah tujuh petala langit dan tujuh petala bumi dan para malaikat, karena akan berlalunya Ramadhan, dan juga keistimewaannya.”

Waktu terus bergulir dari detik ke detik, dari menit ke menit, dari jam ke jam, dari hari ke hari, dari minggu ke minggu.... Rasanya baru kemarin kita begitu bersemangat mempersiapkan diri untuk memasuki bulan Ramadhan, bulan tarbiyah, bulan latihan, bulan Quran, bulan maghfirah, bulan yang penuh berkah. Namun beberapa saat lagi, Ramadhan akan meninggalkan kita, padahal kita belum optimal melaksanakan qiyamul lail kita, belum optimal membaca Al-Quran serta belum optimal melaksanakan ibadah-ibadah lain, target-target yang kita pasang belum semuanya terlaksana. Dan kita tidak akan pernah tahu apakah kita masih dapat berjumpa dengan Ramadhan berikutnya.

Bagi para salafush shalih, setiap bulan Ramadhan pergi meninggalkan mereka, mereka selalu meneteskan air mata. Di lisan mereka terucap sebuah doa yang merupakan ungkapan kerinduan akan datangnya kembali bulan Ramadhan menghampiri diri mereka.

Orang-orang zaman dahulu, dengan berlalunya bulan Ramadhan, hati mereka mejadi sedih. Maka, tidak mengherankan bila pada malam-malam terakhir Ramadhan, pada masa Rasulullah SAW, Masjid Nabawi penuh sesak dengan orang-orang yang beri’tikaf. Dan di sela-sela i’tikafnya, mereka terkadang menangis terisak-isak, karena Ramadhan akan segera berlalu meninggalkan mereka.

Ada satu riwayat yang mengisahkan bahwa kesedihan ini tidak saja dialami manusia, tapi juga para malaikat dan makhluk-makhluk Allah lainnya.

Dari Jabir RA, Rasulullah SAW bersabda, “Di malam terakhir Ramadhan, menangislah tujuh petala langit dan tujuh petala bumi dan para malaikat, karena akan berlalunya Ramadhan, dan juga keistimewaannya. Ini merupakan musibah bagi umatku.”

Kemudian ada seorang sahabat bertanya, “Apakah musibah itu, ya Rasulullah?”

“Dalam bulan itu segala doa mustajab, sedekah makbul, segala kebajikan digandakan pahalanya, dan siksaan kubur terkecuali, maka apakah musibah yang terlebih besar apabila semuanya itu sudah berlalu?”
Ketika mereka memasuki detik-detik akhir penghujung Ramadhan, air mata mereka menetes. Hati mereka sedih.

Betapa tidak. Bulan yang penuh keberkahan dan keridhaan Allah itu akan segera pergi meninggalkan mereka. Bulan ketika orang-orang berpuasa dan menghidupkan malam-malamnya dengan ibadah. Bulan yang Allah bukakan pintu-pintu surga, Dia tutup pintu-pintu neraka, dan Dia belenggu setan.

Bulan yang awalnya adalah rahmat, pertengahannya ampunan, dan akhirnya pembebasan dari api neraka. Bulan ketika napas-napas orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada minyak kesturi. Bulan ketika Allah setiap malamnya membebaskan ratusan ribu orang yang harus masuk neraka. Bulan ketika Allah menjadikannya sebagai penghubung antara orang-orang berdosa yang bertaubat dan Allah Ta’ala.

Mereka menangis karena merasa belum banyak mengambil manfaat dari Ramadhan. Mereka sedih karena khawatir amalan-amalan mereka tidak diterima dan dosa-dosa mereka belum dihapuskan. Mereka berduka karena boleh jadi mereka tidak akan bertemu lagi bulan Ramadhan yang akan datang.

Suatu hari, pada sebuah shalat ‘Idul Fithri, Umar bin Abdul Aziz berkata dalam khutbahnya, “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya kalian telah berpuasa karena Allah selama tiga puluh hari, berdiri melakukan shalat selama tiga puluh hari pula, dan pada hari ini kalian keluar seraya memohon kepada Allah agar menerima amalan tersebut.”

Salah seorang di antara jama’ah terlihat sedih.

Seseorang kemudian bertanya kepadanya, “Sesungguhnya hari ini adalah hari bersuka ria dan bersenang-senang. Kenapa engkau malah bermuram durja? Ada apa gerangan?”

“Ucapanmu benar, wahai sahabatku,” kata orang tesrebut. “Akan tetapi, aku hanyalah hamba yang diperintahkan oleh Rabb-ku untuk mempersembahkan suatu amalan kepada-Nya. Sungguh aku tidak tahu apakah amalanku diterima atau tidak.”

Kekhawatiran serupa juga pernah menimpa para sahabat Rasulullah SAW. Di antaranya Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Diriwayatkan, di penghujung Ramadhan, Sayyidina Ali bergumam, “Aduhai, andai aku tahu siapakah gerangan yang diterima amalannya agar aku dapat memberi ucapan selamat kepadanya, dan siapakah gerangan yang ditolak amalannya agar aku dapat ‘melayatnya’.”

Ucapan Sayyidina Ali RA ini mirip dengan ucapan Abdullah bin Mas’ud RA, “Siapakah gerangan di antara kita yang diterima amalannya untuk kita beri ucapan selamat, dan siapakah gerangan di antara kita yang ditolak amalannya untuk kita ‘layati’. Wahai orang yang diterima amalannya, berbahagialah engkau. Dan wahai orang yang ditolak amalannya, keperkasaan Allah adalah musibah bagimu.”

Imam Mu'alla bin Al-Fadhl RA berkata, "Dahulu para ulama senantiasa berdoa kepada Allah selama enam bulan agar dipertemukan dengan Ramadhan. Kemudian mereka juga berdoa selama enam bulan agar diterima amal ibadah mereka (selama Ramadhan)."

Wajar saja, sebab, tidak ada yang bisa menjamin bahwa tahun depan kita akan kembali berjumpa dengan bulan yang penuh berkah, rahmat, dan maghfirah ini. Karenanya, beruntung dan berbahagialah kita saat berpisah dengan Ramadhan membawa segudang pahala untuk bekal di akhirat.

Jika kita merenungi kondisi salafush shalih dan meneliti bagaimana mereka menghabiskan waktu-waktu mereka di bulan Ramadhan, bagaimana mereka memakmurkannya dengan amal shalih, niscaya kita mengetahui jauhnya jarak di antara kita dan mereka.
Bagaimana dengan kita? Adakah kesedihan itu hadir di hati kita di kala Ramadhan meninggalkan kita? Atau malah sebaliknya, karena begitu bergembiranya menyambut kedatangan Hari Raya ‘Idul Fithri, sampai-sampai di sepuluh hari terakhir, yang seharunya kita semakin giat melaksanakan amalan-amalan ibadah, kita malah disibukkan dengan belanja, membeli baju Lebaran, disibukkan memasak, membuat kue, dan lain-lain.
Padahal di sisi lain, masih banyak orang di sekitar kita yang berjuang untuk mendapatkan sesuap nasi untuk berbuka hari ini, bukan untuk besok, apalagi untuk pesta pora di hari Lebaran.
Tapi apakah salah bila kita menyongsong Hari Raya ‘Idul Fithri dengan kegembiraan? Tentu saja tidak. Bukankah Rasulullah SAW telah mengatakan, “Wahai Abu Bakar, sesungguhnya setiap kaum mempunyai hari raya, dan sesungguhnya hari ini adalah hari raya kita.” (HR Nasa’i).


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
 

I and A Million Dreams ツ Copyright 2009 Sweet Cupcake Designed by Ipiet Templates Sponsored by Blogger Template Gallery